Menggugat Pemekaran Cilacap Barat

suaramerdeka.com (21 April 2009) HASIL penelitian studi kelayakan pemekaran Kabupaten Cilacap telah memunculkan berbagai kekhawatiran. Kekhawatiran itu menyeruak dari beberapa alasan. Alasan pertama, institusi yang meneliti belum berpengalaman melakukan studi kelayakan pemekaran terhadap suatu daerah.

Alasan lain, disiplin ilmu yang dimiliki tidak lengkap untuk mengadakan studi tersebut. Kontroversi bermunculan setelah membaca laporan hasil studi kelayakan pada 2008 yang digelar FISIP Unsoed.

Banyak aspek yang seharusnya dikaji, dianalisis, dan disimpulkan, ternyata tidak dikerjakan. Begitu juga dengan cara pengambilan sample dan data. Parameter yang digunakan tidak jelas dan bahasan juga tidak komprehensif.

Yang paling menggelikan, calon ibu kota Cilacap Barat yang akan dimekarkan telah disimpulkan, yakni lebih layak di Sidareja dibandingkan Majenang. Variabel yang menentukan simpulan itu adalah faktor aksesibilitas, topogeografi, kependudukan, fasilitas umum, respons masyarakat, dan sebagainya.

Namun tanpa memasukkan faktor potensi sumber daya alam dan pertahanan keamanan.

Untuk faktor aksesibilitas, tim penyusun menyimpulkan, Sidareja lebih mudah aksesnya bila menjadi ibu kota dibanding Majenang.

Melihat simpulan yang menggelikan ini, sepertinya peneliti tidak mengetahui di mana letak Majenang atau Sidareja.

Padahal, salah satu penentu faktor asesibilitas adalah ketersediaan sarana transportasi umum dan dimensi waktu.

Jangankan Sidareja, akses untuk Majenang jauh lebih mudah dibandingkan dengan Cilacap kota. Dari zaman baheula sampai kini banyak orang yang menyebut Kota Cilacap sebagai Kota Buntu. Dengan realita ini, dapat dibayangkan bila Sidareja dijadikan ibu kota kabupaten.

Tidaklah tepat jika hanya alasan jarak rata-rata antara Sidareja dengan kecamatan lain 4 kilo meter lebih dekat dibandingkan Majenang, maka disimpulkan aksesibilitas Sidareja leih mudah.

Jangan lupa, dekat tidak identik dengan mudah dan mudah tidak otomatis dekat. Contohnya, mana aksesibilitas yang lebih mudah? Majenang-Salem dengan jarak 20 kilo meter ataukah Majenang-Banjarpatroman dengan jarak 30 kilo meter.
Penentu Aksesibilitas Di jalur Majenang-Banjarpatroman, masyarakat dapat mengakses transportasi umum setiap lima menit selama 24 jam penuh. Sebaliknya, transportasi umum jalur Majenang-Salem hanya bisa diakses satu jam sekali, dan pada malam hari tidak tersedia sama sekali. Hal itu membuktikan jarak bukan satu-satunya penentu aksesibilitas.

Selain itu, banyak perwakilan institusi atau dinas yang sudah dilaksanakan di Majenang dan tidak ada di Sidareja. Misalnya, Samsat dan pengadilan agama. Sebelum berdiri Samsat Majenang, dahulu banyak sekali kendaraan berplat nomor Jabar. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari faktor akses Cilacap-Majenang tidak lebih baik dibandingkan Majenang-Banjarpatroman.

Lebih menggelikan lagi, studi itu menyimpulkan lokasi Sidareja lebih tinggi daripada Majenang. Topografi di wilayah Cilacap barat berupa pegunungan di sebelah utara dan terus melandai ke arah selatan hingga ke lautan.

Coba peneliti jelaskan, dengan metode apa hasil pengukuran ini didapatkan dan titik mana saja yang diukur?

Untuk kajian jumlah penduduk, tim peneliti menyimpulkan Sidareja lebih layak karena jumlah penduduknya lebih sedikit. Tapi terhadap kepadatan per satuan luas, Sidareja lebih padat.

Di satu sisi, mengatakan Sidareja lebih layak karena jumlah penduduknya lebih sedikit. Di sisi lain mengatakan Sidareja kalah baik jika melihat kepadatan penduduk per satuan luas. Simpulan itu menunjukkan tim peneliti tidak konsisten.

Tim penyusun telah mengambil dua sub faktor (variabel) data, yakni jumlah penduduk dan kepadatan penduduk. Lucunya ketika masuk sebuah simpulan, variabel kepadatan dieliminasi pengaruhnya. Langsung saja, pokoke Sidareja lebih layak.

Faktor potensi sumber daya alam justru diabaikan begitu saja. Padahal faktor itu seharusnya menjadi paling dominan sebagai alasan pendukung dan pembenar dalam pemekaran suatu daerah.

Karena itu kita dapat menilai studi kelayakan pemekaran itu tidak punya filosofi dan fenomena yang jelas. Selain itu, kajian dan bahasan tidak komprehensif. Data-data yang diambil lebih banyak data sekunder dan tidak up to date.

Karena itu, studi kelayakan pemekaran seharusnya dilakukan dengan benar dan profesional, bukan coba-coba. Pertahankan nilai-nilai kebenaran ilmiah dan jangan korbankan demi kepentingan sepihak yang tidak objektif. (35)

—Ir Unang Kusnanto MS, aktivis presidium pemekaran Kabupaten Majenang-

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel